Kisah Asal Mula Candi Prambanan – Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang (Jawa Tengah)
Di Jawa Tengah, pada zaman dahulu ada
sebuah Kerajaan bernama Pengging. Sang raja mempunyai seorang putera bernama Joko
Bandung. Dia adalah seorang pemuda perkasa sama seperti halnya sang ayah yaitu
ia juga mempunyai berbagai ilmu kesaktian yang tinggi.
Bahkan konon kesaktiannya lebih tinggi dari
ayahnya karena Joko Bandung suka berguru kepada para pertapa sakti tetapi
sayangnya Joko Bandung yang sudah dewasa itu belum mau berumah tangga.
Suatu saat, sang raja memanggilnya,
"Joko anakku, tahukah kau kenapa aku
memanggilmu ?" tanya sang raja.
"Ampun Rama Prabu ! Ananda belum
mengerti, mengapa ananda dipanggil menghadap ?" jawab Joko Bandung.
"Aku ingin tahu anakku, sampai kapan kau membujang. Apakah kau menunggu sampai aku mati baru mau menikah ?"
“Ampun Rama ! Sampai hari ini memang belum ada seorang gadis
pun yang cocok di hati ananda.”
"Kau ini bagaimana ? Masak gadis
cantik di seluruh wilayah negeri kita ini tidak ada yang cocok bagimu ?"
“Ampun Rama ! Memang demikian kenyataannya."
"Wah lalu bagaimana ini !"
"Sesungguhnya ananda belum berniat
berumah tangga sebelum..." Joko Bandung tidak meneruskan ucapannya.
"Sebelum apa ?"
"Sebelum Negeri Prambanan jatuh dalam kekuasaan kita."
"Kita sedang berusaha menaklukkan
negeri itu !" sahut sang Raja.
"Ya, tetapi tentara kita tidak segera
mampu mengalahkan prajurit Raja Boko.”
"Lalu, apa maumu ?"
"Kalau memang Pasukan Pengging tidak
mampu, Ananda sendiri saja yang akan maju ke medan perang."
“Anakku, ingatlah penguasa seperti Raja Prambanan itu bukan sembarang Raja. Ia memang seorang Raja yang sakti mandraguna, tubuhnya tinggi besar seperti raksasa."
"Ananda tidak takut, ijinkanlah ananda
berangkat ke Negeri Prambanan menyusun Paman Pati Sinduro.”
Baru saja Joko Bandung berkata demikian,
tiba-tiba prajurit utusan dari medan perang yang mengatakan bahwa pasukan Kerajaan
Pengging banyak yang tewas bahkan Patih Sinduro mengalami luka parah.
Maka, sang Raja segera mengujikan putranya Joko
Bandung untuk menyusul Prajurit Pengging ke medan perang. Pada saat itu, Kerajaan
Prambanan dikuasai oleh Raja Boko yang mempunyai kesaktian tinggi, tubuhnya
tinggi besar sehingga sebagian besar orang menganggapnya sebagai keturunan raksasa.
Anehnya, Sang Raja mempunyai seorang puteri
berwajah cantik bernama Dewi Roro Jonggrang. Sungguh berbeda dengan ayahnya, Dewi
Roro Jonggrang ini sepertinya tidak cocok menjadi anak Raja Boko karena ia seorang
puteri yang lemah gemulai, tubuhnya tidak terlalu tinggi, normal seperti
kebanyakan putri raja pada umumnya.
Walaupun ayahnya berwujud seperti raksasa
tinggi besar dan ditakuti oleh rakyatnya, namun Dewi Roro Jonggrang sangat menyayangi
ayahnya ini. Ia tidak peduli apa kata orang tentang ayahnya. Ia sangat
menghormati dan menyayangi ayahnya.
Sang ayah ternyata juga demikian sayang pada
putrinya, sehingga ayah dan anak ini seperti tak pernah terpisahkan. Ada persamaan
antara Joko Bandung dan Dewi Roro Jonggrang yaitu keduanya sama-sama tidak mau
segera menikah dalam usianya yang sudah cukup dewasa.
"Putriku, kenapa kau tidak juga segera
menikah ?" tanya Prabu Boko pada suatu hari.
"Tidak mengapa Rama Prabu. Hamba hanya
masih hidup sendiri saja sambil menemani Rama."
"Wah tapi repotnya sudah banyak Para Raja dan Pangeran yang melamarmu dan aku selalu menolak mereka gara-gara kau tidak mau."
"Ampun Rama ! Pada suatu ketika jika
ada yang cocok pasti ada yang saya terima di antara sekian banyak para pelamar itu."
"Tapi sampai kapan ?"
"Sampai peperangan dengan Kerajaan Pengging selesai dan kita berada di pihak yang menang,” sahut Dewi Roro Jonggrang.
"Hahahahaha... Kau anakku yang cerdas !
Kau ingin Kerajaan Pengging digabung dengan Kerajaan Prambanan."
"Benar Rama Prabu...”
"Baiklah, kalau begitu aku sendiri
yang sekarang akan memimpin prajurit pilihanku ke medan perang.”
"Hamba ikut serta Rama Prabu,"
"Wah tidak boleh, kau cukup menunggu
di istana. Percayalah aku pasti bisa mengalahkan orang-orang Pengging itu !"
"Baiklah Rama ! do'a hamba menyertai
Rama ke medan perang.”
"Terima kasih anakku, ingat hati-hati
menjaga istana Kekuasaan negeri ini sementara kuserahkan kepadamu !"
"Baiklah Rama Prabu...!"
Demikianlah Raja Boko maju ke medan perang,
dalam tempo yang tidak terlalu lama ia sudah berada di tengah-tengah pasukannya.
Begitu ia datang, para prajurit Prambanan mengelu-elukannya sambil mengacungkan
senjata. Semangat prajurit Prambanan yang tadinya kendor kini bangkit kembali dan
menyala-nyala.
"Semua prajurit cepat lari di belakangku...!"
demikian perintah Raja Boko.
Namun, belum lagi mereka sempat
menghentikan langkahnya sepasang tangan Raja Boko diayunkan ke depan dengan
telapak terbuka seperti mendorong sesuatu.
"Wussssssssshhhh...!"
Terdengar hempasan angin kencang, seluruh Pasukan
Pengging terlempar berhamburan bagaikan daun-daun kering diterjang badai topan
yang luar biasa dahsyatnya.
"Serbumu....!" teriak Raja Boko
setelah melihat Pasukan Pengging terlempar berhamburan ke tanah.
Raja bertubuh raksasa itu memulai lebih dahulu,
ia berlari kencang ke depan diikuti pasukan di belakangnya. Pasukan Pengging
yang berhamburan dan berusaha bangkit tidak sempat lagi bersiap-siap menghadapi
serbuan lawan.
Dengan mudahnya, Raja Boko menangkap satu
persatu tentara Pengging lalu dilempar tinggi ke udara, tentu saja tentara itu
mati ketika jatuh ke tanah. Sementara Pasukan Prambanan juga dengan anaknya membantai
sisa pasukan Pengging yang kocar-kacir tak karuan.
Sementara itu, perjalanan Joko Bandung
melintasi sebuah hutan angker yang jarang dilewati manusia, siapa yang berani
lewat di hutan itu pasti akan menjadi santapan seorang raksasa sakti yang bernama
Bandawasa.
"Aku tidak perduli, hanya dengan menembus hutan ini aku bisa segera sampai di medan perang dengan cepat,” demikian kata Joko Bandung saat memasuki ke hutan itu.
Ketika berada di tengah hutan tiba-tiba
kuda yang ditunggangi Joko Bandung meringkik keras dan menghentikan langkahnya.
Kuda itu ingin membalikkan tubuhnya namun Joko Bandung memaksanya untuk maju
terus.
"Hehehehehe, besar juga nyalimu anak
manusia !" tiba-tiba terdengar suara menggaung di tengah hutan tetapi
tidak nampak seseorang di sekitar tempat itu.
"Siapa kau tampakkan wujudmu ?"
bentak Joko Bandung.
"Hoooo…. Sombong sekali kau anak muda !
Apakah nyawamu rangkap tujuh !"
"Akut tidak takut dengan segala setan belang maupun raksasa pengecut yang tak mau menampakkan diri.”
"Blegggg...!"
Tiba-tiba, Joko Bandung tersungkur ke tanah
karena punggungnya serasa ditendang dengan kaki sebesar batang pohon kelapa.
"Tresss.”
Tanpa mengeluh, Joko Bandung bangkit
berdiri. Kini sepasang matanya membelalak kaget karena di depannya telah
berdiri seorang raksasa tinggi besar dengan rambut panjang riap-riapan.
Kini raksasa itu mengayunkan telapak tangan
kanannya seperti mau meremukkan kepala Joko Bandung, untung Joko Bandung cepat
bertindak, ia meloncat dengan kecepatan kilat, sehingga sambaran tangan si
raksasa hanya mengenai tanah kosong.
Tubuh Joko Bandung melesat ke udara, ia
bersalto lalu menukik dengan jari-jari merapat.
“Jressss….!” begitu meluncur turun
jari-jari Joko Bandung menembus punggung si raksasa.
"Hoawaaaaaa......!" raksasa itu
menjerit kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke tanah, lalu ia jatuh terduduk.
Joko Bandung melangkah pelan mendekat,
"Ampuuuuunnn, Bandawasa tidak sanggup
lagi melanjutkan pertarungan. Aku mengaku kalah."
Di sisi lain, para prajurit Prambanan yang
berada di garis depan segera berbalik dan lari ke arah belakang Raja Boko. Patih
Sinduro yang memimpin pasukan Pengging ternyata sudah sembuh dari luka parah. Ia
kaget sosok tinggi besar menghadang laju pasukannya yang hampir saja mendesak Pasukan
Prambanan.
Situasi memang berbalik, jika dua hari lalu
Pasukan Pengging hampir kalah tapi sekarang mereka justru hampir saja
mengalahkan Pasukan Prambanan.
"Berhentiiii....!!!” teriak Patih
Sinduro kepada pasukannya yang hendak maju merangsak ke arah Pasukan Prambanan
yang kini dipimpin oleh Raja Boko.
Untuk sambung percakapan antara Joko
Bandung dan Raksasa Bondowoso akhirnya berlanjut lagi.
"Kau mengaku kalah !" tanya Joko
Bandung heran.
"Ya, sudah seribu kali aku bertarung dengan manusia baru, kali ini titik kelemahanku diketahui. Ampunilah aku...!"
"Apa untungnya jika aku mengampunimu ?"
"Aku akan mengabdi kepadamu dengan
sukarela !"
"Mengabdi kepadaku ? Bagaimana caranya
?"
"Aku akan bergabung dengan badan kasarmu. Maka kesaktianmu akan menjadi berlipat-lipat. Kau juga akan mampu menguasai bangsa halus dan jin."
"Benarkah ?"
"Benar ! Dan pada suatu ketika kau
pasti memanfaatkannya dengan baik."
"Kalau begitu masuklah ke badan kasarku."
Tiba-tiba ada ledakan keras, kemudian
tampak cahaya putih masuk ke tubuh Joko Bandung melalui bagian kepalanya hingga
membuat tubuh Joko Bandung sesaat bergoyang-goyang. Kemudian, perlahan tenang
dan sepasang kakinya kini terasa ringan sekali.
"Sekarang jiwa dan namaku melekat pada dirimu maka kau sekarang menjadi Bandung Bandawasa."
Joko Bandung yang kini bernama Bandung
Bandawasa segera melangkah ke arah kudanya. Namun ada bisikan dalam hatinya,
"Tidak usah naik kuda, kau bisa lari
lebih cepat daripada kudamu."
Maka, Bandung Bandawasa meninggalkan
kudanya kini ia berlari cepat menembus hutan. Dalam tempo yang tidak terlalu
lama, ia sudah sampai di medan perang. Ia melihat Prajurit Pengging berserakan
di sana-sini, banyak yang sudah mati bergelimpangan kalaupun ada yang hidup
tubuhnya penuh dengan luka yang sangat parah.
Pemuda itu meloncat ke arah Raja Boko,
"Hai Raja Boko, akulah lawanmu !"
tantang Bandung Bandawasa sambil menudingkan tangannya.
"Ahaa... Anak muda kemarin sore berani
menantangku !" kata Raja Boko dengan sombongnya.
Raja Boko mengayunkan tangan kanannya
bermaksud menyambar leher Bandung Bandawasa namun pemuda itu justru menangkap
lengan Raja Boko dan dengan gerakan super cepat, tubuhnya Raja Boko dilempar ke
arah Prajurit Prambanan.
"Breggggg…!”
Tubuh Raja Boko terlempar dan terjerembab
ke arah para prajuritnya. Para prajurit yang tertindih oleh Raja Boko seketika
mati lemas. Raja Boko masih bermaksud bangkit berdiri namun terlambat. Bandung
Bandawasa meloncat dan menendang pinggangnya.
Seketika Raja Boko muntah darah dan tewas
ambruk ke tanah. Mengetahuinya raja yang perkasa telah tewas di tangan Bandung Bandawasa,
maka Prajurit Prambanan takluk menyerahkan diri.
"Ampun... Kami menyerah…!"
"Baik, kalian kuampuni. Sekarang
bawalah aku ke Istana Prambanan.”
Bandung Bandawasa diantarkan oleh mereka ke
istana. Begitu memasuki Istana Keputren (Bagian Lorong Istana Khusus Para
Perempuan Bangsawan), ia melihat Dewi Roro Jonggrang yang cantik jelita.
"Aduh ! Belum pernah aku melihat gadis
secantik ini !"
Ia segera melangkah mendekati gadis itu.
"Wahai gadis cantik, siapakah engkau
ini ?" tanya Bandung Bandawasa.
Dewi Roro Jonggrang tidak segera menjawab.
Sepasang matanya kini bersimbah air mata dan kini tidak berdaya. Dari prajuritnya,
ia sudah mendapat laporan bahwa pemuda itulah yang telah mengalahkan dan
membunuh ayahnya.
Ia juga sempat sekilas memandang wajah
Bandung Bandawasa. Ia merasa kagum dan terpesona akan ketampanan dan kegagahan
pemuda itu, namun jika teringat bahwa ia adalah pembunuh ayahnya maka rasa
kagumnya berubah menjadi benci.
Tetapi, ia tak bisa menampakkan kebenciannya
kepada pemuda yang sangat sakti itu.
"Wahai adik manis, siapakah engkau ?"
Bandung Bandawasa mengulang pertanyaannya.
"Aku... Dewi Roro Jonggrang...! Aku
putri dari...."
Bandung Bandawasa memotong ucapan Dewi Roro
Jonggrang.
“Tak peduli siapa ayahmu. Aku Bandung
Bandawasa, hari ini telah menemukan pilihan hatiku…”
Dewi Roro Jonggrang semakin bingung, Bandung
Bandawasa semakin mendekat dan berbisik lirih,
"Maukah kau menjadi
permaisuriku...?"
"Aku... Aku….”
Dewi Roro Jonggrang tak mampu meneruskan ucapannya.
Ia ingin mengatakan kalau sebenarnya dia sendiri benci kepadanya karena Joko
Bandung telah membunuh ayahnya namun lidahnya terasa kelu. Bagaimana pun sebagai
perempuan, ia takut dirinya nanti dianiaya jika Bandung Bandawasa mengetahui
isi hatinya.
"Kau harus menjawabnya. Setidaknya
beritahukan namamu."
"Nama hamba Dewi Roro Jonggrang, hamba belum bisa menjawab sekarang. Mohon diberi waktu.”
"Baiklah, aku akan menunggu jawabanmu
hingga sore hari.”
Siang itu juga, Dewi Roro Jonggrang
bermusyawarah dengan para dayang istana. Setelah menemukan cara untuk menolak
secara halus, maka gadis itu datang menghadap Bandung Bandawasa.
“Hamba bersedia diperistri tuan asalkan Paduka sendiri mampu membuatkan seribu candi dan dua buah sumur yang sangat dalam dalam satu malam," kata Dewi Roro Jonggrang.
Menurut anggapan Dewi Roro Jonggrang,
Bandung Bandawasa tidak mungkin dapat memenuhi permintaan yang amas sulit itu.
Dalam benak Bandung Bandawasa memang tidak
mungkin memenuhi permintaan yang aneh dan tidak masuk akal itu. Sejenak ia memejamkan
matanya, tiba-tiba di luar dugaan Bandawasa yang bersatu dalam tubuh Joko Bandung
berkata,
"Sanggupi saja permintaan Dewi Roro
Jonggrang itu. Aku bakal membantumu Joko Bandung.”
"Kau jangan main-main, seribu candi itu
banyak sekali."
"Jangan kuatir, aku sanggup membantumu."
"Kau yakin ?"
"Yakin !"
"Ingat ! Waktunya hanya satu malam
saja,"
"Jangan kuatir bagi bangsa jin dan makhluk halus, tidak ada hal yang tidak mungkin apalagi cuma membuat seribu candi.“ ucap Bondowoso.
Dalam pandangan Dewi Roro Jonggrang,
Bandung Bandawasa yang berada di hadapannya sepertinya diam mematung padahal pemuda
itu sedang berbicara dengan Bandawasa yang bersatu dalam tubuhnya.
Gadis itu sudah merasa yakin bahwa sesakti
apapun pemuda itu pasti tidak akan sanggup membuat candi dalam waktu semalam saja
apalagi ditambah dengan dua buah sumur yang dalam.
Kini Bandung Bandawasa membuka sepasang
matanya, ia menatap tajam-tajam wajah gadis itu hingga membuat hati Dewi Roro
Jonggrang was-was.
"Aku sanggup memenuhi permintaanmu, Jonggrang...!"
Seketika wajah Dewi Roro Jonggrang nampak pucat
pasi.
"Jika demikian silahkan Paduka
bersiap-siap mengerjakannya, nampaknya hari sudah mulai gelap.”
Joko Bandung yang dibantu Bandawasa yang sakti
itu mengerahkan ilmuya. Para jin dan makhluk halus yang berada dalam kekuasaannya
mulai berdatangan dan tampak ribuan jin yang bertubuh tinggi besar.
Salah satu jin yang bertubuh paling besar
segera membungkuk hormat sambil berkata,
"Tuanku Bandung Bandawasa, apa yang harus
kami kerjakan untuk Tuanku ?"
Dengan tegas Bandung Bandawasa berkata,
"Buatkan aku seribu candi dan dua buah sumur dalam dengan tempo sesingkat-singkatnya. Sebelum fajar tiba, bangunan itu harus sudah siap !"
"Baik Tuanku, perintah paduka segera
kami laksanakan !"
Demikianlah para jin itu bekerja keras
setelah matahari terbenam, dan satu persatu candi yang diminta oleh Dewi Roro Jonggrang
mendekati penyelesaian. Melihat kejadian tersebut, Roro Jonggrang heran dan
juga terkejut.
Karena bangunan candi yang begitu banyak
sudah hampir selesai, pada tengah malam sewaktu para makhluk halus melanjutkan
tugas menyelesaikan bangunan candi yang tinggal beberapa buah saja. Dewi Roro
Jonggrang merasa panik dan segera memanggil kepala dayang istana.
"Bibik Emban, bagaimana ini ?"
"Kenapa anak mas Dewi Roro Jonggrang ?"
"Itu Bik, Bandung Bandawasa ternyata
hampir saja memenuhi permintaanku.”
"Benarkah ?"
"Coba Bibik lihat sendiri di sana."
Bibik Emban, kepala dayang istana melihat
ke arah lembah di mana ratusan candi dibuat. Setelah dihitung memang candi itu
sudah sedemikian banyak, hanya tinggal beberapa buah saja. Bahkan dua buah
sumur besar yang diminta juga sudah selesai pembuatannya.
Bibik Emban cepat memutar otak. Lalu
bersama Dewi Roro Jonggrang, ia membangunkan gadis-gadis Desa Prambanan agar menumbuk
padi sambil memukul-mukulkan alu pada lesung sehingga kedengarannya suara yang
riuh-rendah.
Sementara itu, para pemuda desa
diperintahkan untuk membakar kayu dan tumpukan jerami di sebelah timur
Prambanan.
"Bik, kenapa harus menumbuk padi
sambil memukul lesung ?”
"Hanya dengan cara ini, para makhluk
halus itu bisa dihentikan !"
"Mereka kan tidak takut pada
bunyi-bunyian lesung ini !" kata Dewi Roro Jonggrang dengan heran.
"Ya, ini memang para jin tidak takut pada bunyi-bunyian lesung ini. Tapi bunyi lesung ini akan membuat ayam jantan berkokok karena mengira hari sudah pagi," jawab Bibik Emban dengan tenang.
"Bibik yakin cara ini akan berhasil ?”
"Ya, kita sudah tidak punya cara lain lagi. Hanya ini satu-satunya cara menggagalkan keinginan Bandung Bandawasa. Mudah-mudahan berhasil.”
Akibat bunyi lesung yang dipukul
berkali-kali membuat ayam jantan di seluruh Prambanan kaget. Ayam jantan pun
berkokok bersahut-sahutan.
Mendengar suara-suara tersebut, para makhluk
halus segera menghentikan pekerjaannya. Disangkanya hari telah pagi apalagi
mereka melihat warna merah seperti fajar di sebelah timur, mereka mengira
matahari hampir terbit.
Raja Jin datang menghadap Bandung
Bandawasa,
"Ampun Tuanku... Hamba tidak bisa melanjutkan pekerjaan ini. Hamba harus segera kembali ke alam halus sebelum semua binasa !"
“Apa ? Mengapa fajar begitu cepat datang !"
bentak Bandung Bandawasa penasaran.
"Hamba tidak mengerti, yang jelas
rakyat hamba tidak boleh terkena sinar matahari. Hamba mohon pamit.”
Habis berkata demikian, para jin dan
makhluk halus yang berjumlah ribuan itu hilang lenyap tanpa bekas padahal hanya
kurang satu bangunan candi saja yang harus mereka selesaikan.
Bandung Bandawasa tak habis pikir, mengapa
pagi demikian cepat datangnya. Ia mencoba berpikir keras dan pandangi fajar
merah di ufuk timur.
Lama-kelamaan, fajar itu bukannya semakin
cerah malah semakin gelap tentu saja hal ini membuatnya penasaran. Ia segera mengerahkan
kesaktiannya. Dalam tempo singkat, ia mampu berlari cepat menuju arah timur
Prambanan.
Di sana, ia menemukan para pemuda yang
sedang membakar kayu dan tumpukan jerami.
"Oh, jadi kalian penyebab semua ini !"
bentak Bandung Bandawasa dengan marah.
"Ampun Raden... Hamba hanya
menjalankan perintah !" kata salah seorang pemuda.
"Siapa yang memerintah kalian ?"
"Bibik Emban, Pengasuh Tuan Putri Dewi
Roro Jonggrang !"
"Jadi, semua ini cuma akal-akalan Dewi
Roro Jonggrang."
"Benar Raden...!"
"Kurang ajar ! Kalian juga harus
menanggung akibatnya !" berkata demikian Bandung Bandawasa mengibaskan lengannya.
Seketika puluhan pemuda di depannya berjatuhan
ke tanah sambil muntah darah. Bahkan, banyak di antara mereka yang langsung
mati.
Bandung Bandawasa meninggalkan mereka. Kini,
pemuda itu menuju bangunan candi yang jumlahnya kurang satu untuk menjadi seribu.
Namun ketika sampai di sana, benar-benar hari sudah pagi dan matahari sudah
menampakkan sinarnya.
Pada saat yang sama, Dewi Roro Jonggrang
muncul di hadapan Bandung Bandawasa dan berkata,
"Sudahlah Raden ! Paduka jelas tidak
mampu memenuhi permintaan hamba, maka...!"
"Cukup ! Aku tahu ada sesuatu yang
tidak beres," potong Bandung Bandawasa.
"Andika seorang satria, seorang satria harus memegang teguh janjinya. Sekarang hari sudah betul-betul pagi, matahari sudah menampakkan sinarnya. Dan Andika tidak mampu memenuhi syarat membuat seribu candi !" tukas Dewi Roro Jonggrang.
Bandung Bandawasa berdiri tegak di hadapan
Dewi Roro Jonggrang, giginya gemeretak menahan amarah. Dewi Roro Jonggrang nampaknya
sangat ketakutan dan mundur beberapa langkah. Bandung Bandawasa mendekati gadis
yang dicintainya dan berkata,
"Dewi Roro Jonggrang ! Kau ini hanya mencari-cari alasan. Kalau tidak mau jadi istriku kenapa tidak kau katakan dengan jujur saja ! Kenapa kau gunakan tipu muslihat untuk mengelabuhiku. Kau ini keras kepala seperti batu !"
Ucapan pemuda sakti itu tak bisa ditarik
lagi, seketika Dewi Roro Jonggrang berubah menjadi area batu besar di Candi Prambanan.
Bandung Bandawasa juga mendatangi anak-anak
gadis di sekitar Prambanan yang diperintah untuk membunyikan lesung. Dengan
penuh amarah, para gadis itu dikutuk oleh Bandung Bandawasa dengan ucapan,
"Kalian telah membantu Dewi Roro Jonggrang berbuat curang ! Maka dari sekarang, aku kutuk kalian menjadi perawan tua ! Kalian tidak akan laku kawin sebelum mencapai umur tua !"
Demikianlah kisah Legenda Asal Mula Candi
Sewu atau Candi Dewi Roro Jonggrang. Candi ini juga disebut pula Candi
Prambanan karena letaknya di daerah Prambanan.
Candi yang dibuat oleh para makhluk halus,
meskipun jumlahnya belum mencapai seribu disebut Candi Sewu yang berdekatan
dengan Arca Patung Dewi Roro Jonggrang. Maka, Candi Prambanan disebut Candi
Dewi Roro Jonggrang.
Sedangkan gadis-gadis di daerah itu
kebanyakan tidak laku kawin sebelum mencapai umur tua, atau sebelum mereka
pindah ke tempat lain.
Semoga cerita rakyat di atas bisa membantu kamu terkait hikmah pelajaran yang bisa kamu petik, dan dapat menambah wawasan pengetahuan yang memenuhi asupanmu. Jika ada pertanyaan, silahkan ditulis pada kolom komentar dibawah ini.