Kisah Hikmah dari Hati Yang Bersih – Pangeran Fahisal dan Sarah
Ketika ayahandanya meninggal, Pangeran
Fahisal masih terlalu muda untuk memerintah Kerajaan. Ia mewarisi kekuasaan dan
kekayaan yang berlimpah, sehingga Pangeran Fahisal hidup seenaknya. Pesta dan berfoya-foya,
itulah yang dilakukan oleh Pangeran Fahisal. Ia menghambur-hamburkan uang
rakyat untuk kesenangan pribadi semata.
Sebenarnya, Pangeran Fahisal bukanlah
seorang pemuda yang berhati jahat, tetapi hanya karena cara berpikirnya saja
yang belum dewasa. Tak ada yang berani melarang atau mengingatkan kehendaknya. Hanya
gurunya yang sudah tua saja yang berani berkata dan menegurnya agak keras.
“Waspadalah Fahisal, jika kau terus menerus
membuang-buang waktu dan harta untuk sesuatu yang tak berguna, Dewa akan murka
kepadamu.”
Tetapi Pangeran Fahisal tak
memperdulikannya. Bahkan, para pembesar dari kalangan kaum ningrat justru yang
menertawakan sang guru tersebut. Merasa malu dan diabaikan, akhirnya sang guru
itu mengundurkan diri dan hidup di tepi hutan yang sepi bersama anak gadisnya
yang bernama Sarah.
Suatu hari, ketika Pangeran Fahisal berada
dalam kamarnya sendirian, entah darimana datangnya, tiba-tiba ia didatangi oleh
seorang laki-laki tua yang perkasa.
“Fahisal…., Fahisal….! Kau telah
menjerumuskan dirimu sendiri dan seluruh rakyatmu,” kata orang itu. “Akulah
Dewa Agung, raja makhluk bumi. Selama ini, akulah yang melindungi kerajaanmu. Kini
kau justru akan menghancurkannya !”
“Tapi, aku masih bisa membantumu….,” kata
orang itu lagi. “Pergilah ke kamar ayahmu. Angkat batu marmer yang ada di
tengah ruangan. Kau akan melihat sebuah tangga lebar yang menurun.
Masuklah kau
ke dalamnya, dan kau nanti akan menemukan harta yang banyak sekali. Tetapi,
jangan kau sentuh harta itu. Nanti kau akan mendapat perintah selanjutnya.”
Kemudian, lelaki itu menghilang. Pangeran
Fahisal segera bergegas ke kamar ayahnya, dan menuruni tangga seperti yang
dikatakan oleh orang tua itu. Harta dan uangnya banyak dihabiskan karena
dipergunakan untuk berfoya-foya. Kini, ia sangat membutuhkannya.
Emas, intan, dan permata yang berkilauan
terserak dimana-mana dalam ruangan bawah tanah itu. Ada juga sebuah lapik
patung, tapi di atasnya tak ada patung, yang ada hanya sebuah kertas bertuliskan.
“Sebelum kau menyentuh harta itu, kau harus
menemukan patung yang hilang dan menemukan harta yang paling berharga di
seluruh dunia.”
Pangeran Fahisal menjadi bingung, ia tak bisa
memahami perintah itu. Isi suratnya sama sekali tidak jelas. Dia melihat
sekelilingnya, kalau-kalau ada sesuatu yang bisa membantunya.
Tiba-tiba terasa ada angin berhembus. Bersama
itu, muncullah asap putih. Nampak bayang-bayang yang semakin lama semakin jelas,
dan ternyata itu adalah arwah ayahnya. Melihat keajaiban itu, Pangeran Fahisal
segera berlutut menghormat.
“Minta tolonglah kepada gurumu, anakku. Hanya
dia yang bisa menolongmu….” Suara ayah Fahisal bergema, kadang terdengar dekat,
kadang pula terdengar jauh.
Bayang-bayang itu kemudian bergetar, semakin
tipis, lalu menghilang. Pangeran Fahisal segera meninggalkan ruangan itu dan
bergegas menuju rumah gurunya. Lelaki itu dengan penuh perhatian dan
mendengarkan keterangan dari Pangeran Fahisal.
“Ya, ya, aku tahu. Aku tahu dimana Istana
Dewa Agung itu. Marilah kita pergi ke sana, dan bertanya apa sesungguhnya
maksud perintah itu.”
Kedua orang itu memulai suatu perjalanan
yang panjang dengan melintasi padang pasir, menembus hutan yang lebat, dan
menyeberangi sungai-sungai yang terjal dan deras airnya.
Akhirnya, mereka tiba di sebuah istana yang
megah di kaki gunung yang tinggi menjulang. Dinding putih, pintunya terbuat
dari emas dan menaranya menggapai awan. Penjaga pintu gerbang membiarkan Pangeran
Fahisal dan gurunya masuk sambil diantarkan oleh seorang kerdil ke kebun
belakang yang berdinding.
Di sana tampak duduk Sang Dewa Agung di
atas singgasana yang bertahtakan intan dan permata. Dia mendengarkan permohonan
Pangeran Fahisal, dan setelah itu dia berkata : “Bawa kemari seorang gadis
tanpa dosa, dan akan kukatakan di mana kalian bisa menemukan patung yang hilang
itu.”
Diulurkannya sebuah cermin kepada Pangeran
Fahisal. Cermin itu berkabut, sehingga dia tak dapat mengaca disitu. “Kabut
cermin itu akan hilang, jika gadis tak berdosa itu mengaca disini,” kata Dewa
Agung itu seraya berpaling.
Pangeran Fahisal itu merasa tak berani bertanya
lebih jauh lagi. Kedua orang itu tak tahu harus mencari dimana orang yang dimaksud
tersebut. Kemudian, mereka berdua pulang mengembara sambil membawa cermin itu. Banyak
gadis yang dijumpainya dan disuruhnya mereka untuk berkaca, tapi sayangnya kabut
itu tak mau hilang. Akhirnya, mereka kembali ke pondok guru tua tanpa hasil.
“Indah sekali cermin ini !” kata Sarah,
putri guru tua. Wajah gadis itu tampak nyata dalam cermin itu. Ternyata, dia
adalah gadis yang tak berdosa.
Guru Pangeran Fahisal melihat itu malah
menjadi gelisa. Dia sebenarnya tidak ingin merasa kehilangan putrinya, tetapi
akhirnya dibawa juga Sarah menghadap kepada Dewa Agung.
Dewa Agung itu tersenyum. Ia mengangguk,
lalu dia menggandeng Sarah dan dalam sekejab mereka berdua langsung menghilang.
Tiba-tiba, perasaan Pangeran Fahisal mulai tak lagi tertarik pada harta
peninggalan ayahnya yang berlimpah. Hatinya merasa sudah berubah dan jatuh
cinta dengan Sarah.
Sementara itu, rakyatnya menunggu
kedatangan Pangeran Fahisal. Dengan terpaksa, ia kembali ke istana dan masuk ke
ruang harta. Ternyata di lapik patung, nampak sesosok tubuh yang terbungkus
kain sutra. Pangeran Fahisal segera menarik kain yang menutupi patung itu, dan ternyata
Sarah yang berada di balik kain sutra dan di atas lapik patung itu.
“Itulah calon istrimu,” kata Dewa Agung
yang mendadak langsung menampakkan dirinya. “Sebelum kau tergila-gila oleh
harta, kau harus belajar mengerti, bahwa hati yang bersih lebih berharga
daripada seluruh kekayaan yang ada di dunia.”
Pangeran Fahisal akhirnya telah tumbuh menjadi
lelaki yang dewasa, bijaksana, dan adil terhadap rakyatnya. Dia menikah dengan
Sarah, dan mereka hidup bahagia selama-lamanya.
Pelajaran yang bisa kamu petik dari Kisah Hikmah dari Hati Yang Bersih – Pangeran Fahisal dan Sarah, yaitu jangan suka berfoya-foya dan menghamburkan uang rakyat untuk kepentingan pribadi, seorang pemimpin harus punya sikap bijaksana, adil, dewasa dalam pikiran dan berjiwa kepemimpinan, tidak boleh bertindak seenaknya dan sewenang-wenang, biasakan untuk mendengarkan nasehat, setiap cobaan pasti terdapat pelajaran yang berharga, kebaikan hati seseorang itu lebih berharga daripada harta kekayaan dan sejenisnya.
Semoga kisah dongeng di atas bisa membantu
kamu terkait pelajaran yang bisa kamu petik, dan dapat menambah wawasan
pengetahuan yang memenuhi asupanmu. Jika ada pertanyaan, silahkan ditulis pada
kolom komentar dibawah ini.
Sumber : Buku "Kumpulan Dongeng Anak
Sedunia" karangan MB. Rahimsyah AR.